Jalan Mulus untuk Bobby Nasution

Mesti Baca

Agak Laen Kutengok (1) :

MENCOPOT Mayjen (Purn) Dr. Hasanuddin sebagai Pj Gubernur Sumut dan kemudian melantiknya sebagai Pj. Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), membuka peluang masyarakat untuk menafsirkannya secara liar. Salah satunya, bahwa pencopotan tersebut bukanlah karena kinerja Hasanuddin yang dinilai lemah selama memimpin Sumatera Utara. Tetapi merupakan bagian dari upaya membuka jalan tol untuk Bobby Nasution memenangkan Pilgubsu pada 27 November 2024 mendatang.

Pergantian Pj Gubsu tersebut, pun dibaca sebagai adanya ketidakyakinan kubu Bobby Nasution, bahwa Hasanuddin kelak tidak akan bisa maksimal mengamankan Bobby Nasution pada Pilgubsu tersebut. Apalagi jika yang akan menjadi lawan Bobby Nasution pada Pilgubsu 2024 nanti, adalah Gubernur Sumut priode 2018-2023, Letjen (Purn) Edy Rahmayadi. Sebagai yunior sesama purnawirawan TNI-AD, boleh jadi Hasanuddin dianggap akan sungkan dan ewuh pakewuh terhadap seniornya, Edy Rahmayadi. Dan sikap Hasanuddin seperti itu, bisa membuat jalan Bobby Nasution menuju kursi Gubsu priode 2024-2029 menjadi tidak mulus.

Sah-sah saja jika ada yang menyebutkan, langkah pergantian Pj Gubsu tersebut merupakan strategi dalam meraih kemenangan pada sebuah Pilkada. Tapi, itu adalah strategi dengan meminjam tangan kekuasaan. Dan karenanya, sah pula andai ada yang menyebut langkah itu disebut sebagai intervensi penguasa.

Langkah semacam ini, sebelumnya juga sudah dilakukan kubu Bobby Nasution. Yakni, saat mendapatkan dukungan dari Partai Golkar untuk maju sebagai Bakal Calon Gubsu (Bacagubsu) pada Pilgubsu 2024. Padahal, sebelumnya Bobby Nasution telah mendapatkan dukungan yang cukup dari PAN, Demokrat serta Gerindra — sekaligus Bobby Nasution menjadi kader Gerindra Sumut.

Langkah mengambil dukungan Partai Golkar tersebut, dinilai sebagai upaya ‘menaklukkan’ lawan tangguh pada Pilgubsu 2024 nanti. Tak bisa dipungkiri, sosok Musa Rajeckshah (Ijeck) sebagai Ketua DPD Golkar Sumut jauh lebih diinginkan masyarakat Sumut menjadi Bacagubsu. Fakta bahwa pengalaman Ijeck sebagai Wakil Gubsu 2018-2023 maupun keberhasilannya membawa Golkar Sumut sebagai partai pemenang pada Pileg 2024, adalah nilai lebih Ijeck yang tak dimiliki oleh Bobby Nasution.

Benarkah Kaleng-kaleng?

Beberapa strategi ataukah intervensi kubu Bobby Nasution semacam ini, sekaligus juga memberitahu masyarakat — juga menguatkan dugaan sementara saya — bahwa jangan-jangan Bobby Nasution sesungguhnya adalah sosok kaleng-kaleng. Jika benar demikian, maka Bobby Nasution sangat tak layak menjadi Gubernur Sumut, bahkan sesungguhnya juga tak layak menjadi Walikota Medan yang diembannya saat ini. Berdasarkan fakta yang ada, keberhasilan Bobby Nasution memenangkan Pilkada Medan tahun 2020 lalu, sama sekali bukan karena kualitas dan kredibilitasnya. Tetapi — dan kita semua tau — apa yang terjadi pada saat Pilkada Medan saat itu.

Sekedar mengingatkan, mari kita me-review kembali Pilkada Medan tahun 2020 lalu. Pilkada Medan saat itu diikuti dua pasangan, Bobby Nasution/Aulia Rahman dan Akhyar Nasution/Salman Alfarisi. Bobby/Aulia meraih 393.327 suara, sedangkan Akhyar/Salman meraih 342.580 suara. Dibandingkan dengan jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak 1.601.001 pemilih, maka jumlah pemilih yang memilih Bobby/Aulia hanya sekitar 24,57 persen. Dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Medan sebanyak 2,44 juta jiwa, maka tingkat legitimasi Bobby/Aulia hanya sekitar 16,12 persen.

Minimnya hasil yang diperoleh Bobby Nasution/Aulia Rahman tersebut, tentulah cukup mencengangkan. Sebab, pertama, Bobby Nasution adalah menantu Presiden Jokowi. Status ini, mestinya sangat menguntungkan Bobby Nasution dari banyak aspek. Akan halnya Aulia Rahman, adalah anggota DPRD Medan dari Gerindra, yang tentunya juga akan memuluskan perolehan suaranya pada Pilkada Medan saat itu.

Kedua, pasangan Bobby/Aulia didukung oleh delapan partai perkasa hasil Pemilu 2018 yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PPP, PAN, Nasdem, Hanura, dan PSI, serta partai baru Gelora. Sedangkan pasangan Akhyar/Salman, cuma didukungan Partai Demokrat dan PKS. Mestinya, mesin partai politik pendukung Bobby/Aulia, jauh lebih perkasa pula di dalam menyedot minat pemilih Kota Medan memilih Bobby/Aulia.

Ketiga, banyak pejabat dan publik figur terlibat dalam mensosialisasikan pasangan Bobby/Aulia di Medan. Diantaranya Musa Rajeckshah (Wakil Gubernur Sumut saat itu), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Menpora selaku petinggi Golkar dan banyak lainnya. Seyogianya, keterlibatan sosok terkenal tersebut mampu merangsang gairah pemilih Kota Medan untuk mencoblos Bobby/Aulia.

Keempat, alat peraga kampanye baik berupa baliho, spanduk, mobil branding dan lainnya, termasuk pemanfaatan media massa dan media sosial sebagai sarana sosialisasi pasangan Bobby/Aulia, secara kasat mata terlihat jumlahnya sangat atraktif dibandingkan dengan pasangan lawannya dengan alat peraga yang alakadarnya.

Belum lagi hal-hal lainnya yang bagaikan ‘kentut’ : baunya ada, tapi bukti formalnya tak terlihat. Namun, kenapa Bobby/Aulia cuma mampu meraih suara pemilih hanya sebanyak itu? Apakah pemilih Kota Medan saat itu telah menjadi pemilih yang cukup cerdas dan menganggap Bobby Nasution adalah sosok kaleng-kaleng?

Apapun itu, saya sangat berharap, Bobby Nasution bukanlah sosok kaleng-kaleng. Karenanya, siapapun kelak lawannya pada Pilgubsu nanti, Bobby Nasution berani dan bersedia bertarung secara ‘bebas’ : bebas dari cawe-cawe penguasa, bebas dari intervensi dan intimidasi penguasa. Dengan demikian, Pilgubsu 2024 akan menghasilkan Gubsu yang berkualitas. Sebaliknya, jika kualitas Gubsu terpilih adalah kaleng-kaleng, maka Sumut pun kelak akan menjadi provinsi kaleng-kaleng pula.
Mangkanya…


*Penulis adalah Jurnalis Utama, warga Sumatera Utara.

Kunjungi Channel YouTube Waspada News Tv & mantan Wartawan Untuk Berita Menarik Lainnya.

Block title

- Advertisement - spot_img

Leave a Reply

- Advertisement - spot_img

Berita Baru

Discover more from WASPADANEWS.TV

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading