JAKARTA, WASPADANEWS.TV – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold) suara sah nasional diubah lewat sidang uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2024).
Lewat putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tentang penerapan ambang batas 4 persen.
Dalam petitumnya, Perludem menganggap ketentuan ambang batas tersebut menghilangkan suara rakyat atau pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.
Sejalan dengan itu, MK menilai ketentuan ambang batas empat persen yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan, Kamis.
Harus diubah sebelum Pemilu 2029
Mahkamah berpendapat, Pasal 414 Ayat (1) UU No 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Kendati begitu, ambang batas parlemen tersebut tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku di Pemilu DPR 2024.
Ambang batas parlemen menjadi konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.
Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas empat persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
“Menyatakan norma pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan Pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan,” kata Suhartoyo.
Revisi UU Pemilu
Dengan demikian, MK memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk mengubah ketentuan ambang batas parlemen melalui revisi UU Pemilu.
Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pertimbangannya menyatakan, ambang batas parlemen perlu diubah dengan memperhatikan beberapa hal.
Setidaknya ada lima poin prasyarat yang ditetapkan MK, yakni:
- Didesain untuk digunakan secara berkelanjutan.
- Perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem Pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
- Perubahan harus ditempatkan dalam rangka untuk mewujudkan penyederhanaan parpol.
- Perubahan telah selesai sebelum dimulai tahapan penyelenggaran Pemilu 2029.
- Perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelanggaraan Pemilihan Umum dengan menerapkan sistem partisipasi publik yang bermakna termasuk melibatkan parpol peserta Pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
Dosen Kepemiluan UI, Titi Anggraini menilai, keputusan MK soal perubahan ambang batas parlemen empat persen sudah tepat diterapkan di Pemilu selanjutnya.
Terlebih sejauh ini, permohonan pengujian kembali ambang batas sudah disuarakan banyak pihak kepada MK.
Pasalnya, ketentuan ambang batas yang berlaku saat ini mengakibatkan disproporsionalitas perolehan kursi dibanding perolehan suara. Dari sisi metodologi pun tidak pernah dijelaskan akuntabilitas pilihan terhadap angka-angka ambang batas parlemen tersebut.
“Jadi putusan MK saya kira tepat ya, karena MK di satu sisi mempertimbangkan sudah berjalannya tahapan Pemilu. Dan kedua, menegaskan kembali bahwa itu kewenangan pembentuk UU tapi tidak melepas begitu saja,” kata Titi, Kamis (29/2/2024).
Dewan Pembina Perludem ini lantas menyoroti lima poin yang dititipkan MK kepada pembentuk UU dalam melaksanakan revisi UU Pemilu. Dia kembali menilai keputusan ini sudah sangat tepat.
Seharusnya, menurut Titi, putusan terdahulu termasuk putusan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, meniru putusan ini.
Adapun putusan yang dimaksud adalah putusan pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Lewat putusan itu, MK memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Putusan langsung diberlakukan pada Pemilu 2024 dan membuat putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, turut serta dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 meski belum genap berusia 40 tahun.
Putusan tersebut lantas menuai polemik di publik karena dianggap bagian dari dinasti politik, lantaran sang paman yang saat itu merupakan Ketua MK, Anwar Usman, turut dinilai melanggengkan putusan.
Apalagi, ada putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memutus Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat terkait putusan perkara nomor 90 itu. Kemudian, berujung pada pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua MK.
“Seharusnya putusan soal usia meniru putusan ini. Karena prinsipnya adalah ketika sebuah tahapan sudah masuk, tahapan Pemilu sudah berjalan, segala kebijakan yang mempengaruhi tahapan kebijakan tersebut, itu berlaku untuk Pemilu berikutnya,” ujar Titi.
“Supaya apa? Supaya para pihak yang terdampak terutama penyelenggara Pemilu bisa mempersiapkan regulasi teknis yang dibutuhkan, pemilih bisa mendapatkan sosialisasi terkait dengan putusan baru yang berdampak pada pengaturan yang berubah tersebut,” katanya lagi.
***Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “MK Putuskan Ambang Batas Parlemen Pemilu 2024 Tetap 4 Persen, Diubah untuk Pemilu 2029 dan Selanjutnya”.
Kunjungi Channel YouTube Waspada News Tv & mantan Wartawan Untuk Berita Menarik Lainnya.