JAKARTA – Presiden Joko Widodo angkat bicara soal kabar pertemuannya dengan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo.
Kabar itu sebelumnya diungkap Agus saat wawancara dalam program ROSI di Kompas TV, yang tayang pada Kamis (30/11/2023) lalu. Dalam wawancara itu, Agus menyatakan bahwa Presiden Jokowi pernah memintanya untuk menghentikan pengusutan perkara kasus korupsi e-KTP yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) pada 2017.
Ditanya mengenai pertemuan tersebut, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa dirinya telah meminta Sekretariat Negara (Setneg) mengeceknya.
“Saya suruh cek, saya sehari kan berapa puluh pertemuan. Saya suruh cek Setneg enggak ada. Agenda yang di Setneg enggak ada. Tolong dicek lagi saja,” jawab Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Pernyataan Presiden senada dengan pernyataan Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana saat dikonfirmasi pada Jumat (1/12/2023) lalu. Ketika itu, Ari mengaku tidak ada pertemuan yang dimaksud setelah melakukan pengecekan.
Sementara itu, Presiden tak menjawab tegas saat dikonfirmasi mengenai permintaan untuk menghentikan kasus Setnov. Presiden justru meminta awak media merujuk pemberitaan yang muncul pada saat itu.
“Ini yang pertama coba dilihat. Dilihat di berita-berita tahun 2017 di bulan November, saya sampaikan saat itu (ke) Pak Novanto. Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada, jelas berita itu ada semuanya,” ucapnya.
Jawaban itu sama yang Presiden sampaikan pada 2017 lalu, sebagaimana dimuat dalam laman resmi Sekretariat Kabinet. Saat itu, Presiden meminta Setnov yang masih menjabat sebagai Ketua DPR mengikuti semua proses hukum yang ada di KPK.
Pernyataan itu disampaikan Presiden kepada wartawan usai menghadiri sarasehan “Mewujudkan Konstitusional DPD RI Tahun 2017”, yang digelar DPD-RI, di gedung Nusantara IV DPR Jakarta, 17 November 2017.
Presiden juga menegaskan bahwa bahwa proses hukum terhadap Novanto tetap berjalan.
“Yang ketiga, Pak Setya Novanto sudah dihukum, divonis, dihukum berat 15 tahun,” ucapnya.
Sejurus dengan itu, Presiden justru balik bertanya motif di belakang diungkapnya hal itu. Pasalnya, pengusutan megakorupsi itu sudah terjadi sejak enam tahun lalu.
“Terus untuk apa diramaikan itu? Kepentingan apa diramaikan itu? Untuk kepentingan apa?” tanya Presiden.
Dalam wawancara tersebut, Agus cukup heran dengan pemanggilan oleh Presiden. Sebab, ketika memanggil pimpinan KPK, Presiden biasanya akan memanggil lima orang sekaligus.
“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” ungkap Agus.
Kala itu, Agus mendapati Presiden Jokowi sudah marah saat tiba. Namun, ia tak mengetahui penyebab kemarahan Presiden.
“Presiden sudah marah, menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’,” tutur Agus.
“Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” ujarnya.
Pratikno yang namanya turut disebut Agus Rahardjo, mengaku tidak ingat dengan adanya pertemuan antara Presiden dan eks Ketua KPK itu.
“Perihal pernyataan Pak Agus Rahardjo, mantan Ketua KPK, tentang pertemuan dengan Bapak Presiden Jokowi perihal kasus hukum Pak Setnov (Setya Novanto), saya sama sekali tidak merasa/tidak ingat ada pertemuan tersebut” ujar Pratikno.
Usai mengaku mendapat permintaan dari Presiden, Agus menolak hal itu. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e-KTP dengan tersangka Setya Novanto sudah terbit tiga minggu sebelumnya.
Sementara, ketika itu, dalam aturan hukum di KPK tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu,” kata Agus.
Adapun kasus korupsi e-KTP berawal saat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di tahun 2009 merencanakan mengajukan anggaran untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP), salah satu komponennya adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP bisa selesai di tahun 2013.
Proyek e-KTP sendiri merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia. Lelang e-KTP dimulai sejak tahun 2011, dan banyak bermasalah karena diindikasikan banyak terjadi penggelembungan dana.
KPK kemudian mengungkap adanya kongkalingkong secara sistemik yang dilakukan oleh birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, hingga pengusaha dalam proyek pengadaan e-KTP pada 2011-2012.
Akibat korupsi berjamaah ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,3 triliun.
Dalam perkara pokok kasus korupsi e-KTP, ada 8 orang yang sudah diproses dan divonis bersalah.
Mereka adalah Setya Novanto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Novanto).
Kemudian pengusaha Andi Naragong, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, dan mantan anggota DPR Markus Nari.
***(kps/wnt/tsb)
Kunjungi Channel YouTube Waspada News Tv Untuk Berita Menarik Lainnya.